Mayoritas orang menyadari sulitnya menguasai ilmu secara mendalam hingga mencapai level ahli (ulama’), sehingga banyak yang memilih untuk “menjauhinya”. Namun saat ada seorang ahli (ulama’) melakukan suatu kesalahan, maka mereka beramai-ramai menertawakan.
Demikian ditegaskan KH Bahauddin Nursalim (akrab disapa Gus Baha’) dalam ngaji Jum’at siang, 6 September 2019/6 Muharram 1441 H di Damaran-Kudus.
“Gambaran tersebut, sama dengan fenomena panjat pinang. Karena sadar sulitnya memanjat pohon pinang yang licin, banyak orang yang enggan manjadi peserta. Namun saat ada peserta yang jatuh tergelincir, penonton ramai-ramai menertawakan,” tegas Gus Baha’.
Para ahli ilmu (ulama’), lanjut Gus Baha’, mendapat status alim karena keilmuan yang dimilikinya. Karenanya, sikap dan tindakan mereka mayoritas didasari oleh ilmu.
“Sebagai contoh: saat kita yang awam tidak disarankan bergaul dengan orang kaya karena beresiko “hubbud-dunya”, maka ada orang alim yang lebih memilih dekat dengan orang kaya. Alasan mereka: orang kaya, jika memberikan sesuatu (uang/bingkisan), maka itu adalah harta/uang “sisa” yang tidak mengganggu stabilitas ekonominya,” tegas Gus Baha’.
“Sedangkan jika dari si miskin, maka pemberiannya beresiko diambil dari kebutuhannya yang beresiko menggangu stabilitas ekonomi dan keberlangsungan dapur keluarga si miskin,” lanjutnya. .
(Berdasarkan catatan dari Habib Yusuf Al-Kaaf via @bangkit.jogja)
sumber @ulama.nusantara